Selasa,
8 September 2020 Kepala BPS Provinsi Gorontalo, Herum Fajarwati beserta tim
Task Force BPS Kabupaten Gorontalo berkesempatan melakukan pendataan suku
polahi yang tinggal tak jauh dari Dusun Tonala, Desa Pangahu, Kec. Asparaga,
Kab. Gorontalo. Perjalanan ditempuh sekitar empat jam dari Kota Gorontalo untuk
mencapai Desa Pangahu. Di Desa Pangahu Herum bersama Tim disambut oleh Kepala
Desa Pangahu, Haris Maiji. Haris mengantarkan Herum dan Tim ke lokasi pendataan di Dusun Tonala.
Menurut catatan
sejarah suku Polahi adalah pelarian pada zaman Belanda
yang takut atau tidak mau ditindas penjajah, yang kemudian tinggal di hutan
tepatnya di lereng Gunung Boliyohuto, Kabupaten Gorontalo. Dalam
kamus bahasa Gorontalo, Polahi berasal dari kata
"Lahi-lahi" yang artinya, pelarian atau sedang dalam pelarian.
Hal ini menjadikan orang Polahi hidup beradaptasi dengan kehidupan rimba.
Setelah Indonesia
merdeka, sebagian keturunan Polahi masih tetap bertahan tinggal di hutan. Sikap
anti penjajah tersebut masih terbawa terus secara turun-temurun, sehingga orang
lain dari luar suku Polahi dianggap penindas dan penjajah.
Masyarakat suku
Polahi hidup secara nomaden. Mereka tinggal dalam gubuk-gubuk kayu sederhana
supaya mudah untuk ditinggalkan. Ketika ada anggota keluarga suku polahi yang
meninggal dunia, maka akan dikuburkan di tempat itu, kemudian mereka akan
meninggalkan tempat itu. Suku Polahi pindah untuk mencari lokasi baru lagi
dengan membawa peralatan masak, pakaian, piring, gelas, dan alat lain yang bisa
dipakai.
Hidup dalam
keterasingan selama berada di hutan rimba membuat orang Polahi sangat
terbelakang karena tidak terjangkau dengan etika sosial, pendidikan dan agama.
bahkan dalam kebudayaan suku Polahi tidak mengenal hitung-menghitung dan tidak
mengenal nama hari dalam kalender. Beberapa peneliti berhasil menemui orang
polahi ketika mereka turung dari atas gunung. Angka maksimum yang dapat
dihitung adalah empat. Selebihnya adalah "banyak".
Masyarakat Polahi
hanya saling berkomunikasi dengan kelompoknya. Hal tersebut kemudian yang
melahirkan tradisi pernikahan sedarah atau antar saudara.
Dua
orang suku Polahi yang sebelumnya hidup secara berpindah-pindah di daerah
pedalaman Hutan Kabupaten Gorontalo, saat ini telah menikah dengan warga dusun
dan tinggal menetap di Dusun Tonala. Selain mencatat data kependudukan kedua
suku orang suku polahi beserta keluarganya, Herum beserta Tim juga
berkesempatan mewawancarai kehidupan suku Polahi hingga tinggal menetap di
dusun tersebut. Ada kisah menarik yang berhasil dikulik dari wawancara tersebut.
Yusuf
Pakaya, warga dusun Tonala yang merupakan suami dari wanita suku Polahi, Halima
Pakaya menceritakan kisah pertemuannya dengan sang istri. Yusuf yang dulunya
berprofesi sebagai pedagang di Kota Gorontalo mengalami kebangkrutan. Untuk melupakan
kebangkrutan yang ia alami, Yusuf berkelana ke Hutan Pedalaman di dekat dusun
Tonala. Secara tak sengaja Yusuf bertemu dengan gerombolan suku Polahi yang
sedang mencari ikan. Suku Polahi yang ketakutan melihat Yusuf berniat
membunuhnya, beruntung Yusuf berhasil diselamatkan keluarga Halima. Yusuf
tinggal bersama keluarga Halima selama di hutan. Suatu hari ada konflik di
dalam keluarga Halima. Halima hendak dipotong keluarganya atas konflik
tersebut. Yusuf yang berbelas hati secara heroik merampas Halima pergi ke luar
hutan. Yusuf mengajarinya berkehidupan seperti warga dusun lainnya hingga memberinya
nama Halima Pakaya dan menikahinya. Saat ini Yusuf dan Halima telah dikaruniai
enam orang anak dari pernikahannya. [] Diah